Kembalinya Sebuah MacBook
Saya punya sebuah laptop. Merknya terkenal mahal. MacBook namanya. Saya memang tidak membelinya karena pertama, kerjaan saya hanya sekadar ngetik dan buka-buka media sosial saja. Jadi tidak sebanding rasanya bila saya mengeluarkan uang puluhan juta hanya untuk membeli sebuah “mesin tik” elektronik. Kedua, ya memang rasanya seberapapun lamanya saya menabung, saya tidak akan pernah mampu membelinya.
MacBook yang ada di tangan saya sekarang ini memang barang lungsuran. Tadinya laptop ini mati, lalu saya perbaiki sedikit demi sedikit dan akhirnya bisa menyala lagi. Setidaknya sudah beberapa tahun belakangan laptop yang laksana burung phoenix, karena hidup kembali setelah mati ini saya pakai.
Namun beberapa bulan lalu, saat saya “mengungsi” karena Covid-19, laptop ini saya tinggal di Jakarta. Hasilnya, saat lima bulan kemudian saya coba nyalakan dia ngadat. Sejak itu saya tidak lagi menyentuhnya. Saya berpikir, mungkin memang sudah saatnya laptop itu saya tinggalkan. Toh saya sudah berhasil membawanya dari kematian dan memakainya kembali selama beberapa tahun.
Nah, ajaib memang laptop ini, kemarin saat saya memindah-mindahkan barang (menata ulang barang-barang di dalam rumah memang sudah menjadi pelarian saya dari stres gara-gara harus berdiam #dirumahaja) timbul keisengan untuk menyalakan kembali laptop ini dan rupanya tanpa harus melakukan apa-apa, laptop ini hidup dan bisa digunakan dengan baik. Bahkan saat menulis tulisan ini, saya memakai si MacBook Pro ajaib itu.
Saya jadi teringat pada seorang teman yang banyak memberi saya pelajaran hidup saat saya masih tinggal di Bali. Dia adalah seorang pedagang barang antik. Mungkin karena hobinya itulah maka dia selalu berprinsip bahwa sebuah barang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menghargai keberadaannya (bisa aja sih ini dicibir sebagai gejala ringan dari hoarding disorder).
Teman saya ini selalu berusaha menghidupkan kembali barang yang sudah mati atau tidak terpakai. Guyonan zaman dulu bahwa banyak orang menjadikan kulkas sebagai lemari pakaian dia lakukan tanpa malu. Dia menjadikan kulkas yang sudah mati dan tidak bisa diperbaiki lagi sebagai lemari penyimpan bahan-bahan makanan kering. Dia bilang bahwa kulkas yang didesain untuk tidak bisa ditembus tikus atau binatang-binatang pengganggu lainnya sangat ideal untuk menyimpan bahan makanan kering. Jadilah dia “menghidupkan” kembali barang yang sudah “mati”.
Kalau dipikir-pikir, mungkin saya juga sudah ketularan cara berpikirnya. Beberapa hari lalu saya memanfaatkan sebuah pintu bambu yang sudah lama tidak terpakai untuk menambal pintu gerbang besi yang sudah lama hancur di pekarangan rumah. Hasilnya, sekarang saya bisa menutup gerbang dengan rapat walau secara penampilan ya…kurang estetis. Entah berapa lama pintu bambu itu akan bertahan, tapi setidaknya saya sudah “menghidupkan” barang yang sudah lama “mati” itu.
Bersamaan dengan pintu bambu, saya juga “menghidupkan” kembali sebuah gembok yang sudah lama macet, karatan, karena bertahun-tahun dibiarkan kehujanan di luar rumah. Saya meminyakinya, menjemurnya, sampai mencari-cari keliling rumah untuk menemukan kuncinya. Sekarang si gembok sudah “hidup” kembali. Ia menutup rapat pintu gerbang bersama pintu bambu yang juga kembali “hidup”.
Seperti saya bilang di atas tadi, bisa saja saya dicibir sebagai hoarder alias penumpuk barang-barang yang sudah selayaknya dibuang. Tapi kalau buktinya barang-barang yang sudah “mati” itu bisa “hidup” kembali, kenapa tidak dimanfaatkan?
2 thoughts on “Kembalinya Sebuah MacBook”