Seorang Analog di Dunia Digital
Beberapa tahun lalu, pada sebuah akhir tahun, seorang teman heran dan bertanya: “Loe masih beli diary? Buat apa? Bukannya bisa ditulis di HP aja?”
Saat itu saya sedang memilih-milih Moleskine mana yang akan menemani sepanjang tahun dan menjawab: “Gw kan anaknya analog.”
Dan sekarang, di awal tahun 2021, saya mulai tergoda untuk jadi digital. Diary digital mulai terlalu menggoda untuk tidak dipakai.
Ada beberapa alasan kenapa saya “terpaksa” memakai buku harian digital. Pertama, di awal tahun ini saya mulai tinggal di dua tempat. Jakarta bersama suami dan Cipanas. Tinggal di dua tempat, walaupun tidak terlalu jauh, membuat saya harus lebih ringkas. Tidak mungkin saya membawa banyak barang setiap kali berpindah tempat. Karena itu, saya butuh sebuah buku harian yang mudah dibawa dan selalu tersinkronisasi di manapun saya berada. Satu-satunya yang bisa memenuhi kebutuhan ini adalah buku harian digital.
Kedua, seperti apa yang saya sebut pada tulisan ini, saya sebenarnya curiga (karena sering dituduh suami) bahwa saya adalah seorang hoarder. Sebagai seorang hoarder saya sulit melepas barang-barang yang saya miliki, termasuk di dalamnya buku agenda dari tahun ke tahun. Percaya atau tidak, sampai sekarang saya masih menyimpan buku harian saat saya masih SD. Semua saya kumpulkan dan akan entah sampai kapan. Karena itulah saya mulai berpikir, kalaulah semua hal itu bisa saya dokumentasikan dalam sebuah alat penyimpan yang tidak memakan banyak tempat secara fisik alias nggak ketahuan suami dan akan selalu ada bila saya butuhkan alias berubah dari physical hoarding jadi e-hoarding, mungkin akan lebih baik. Karena dengan perkembangan zaman, kenangan bukan saja berbentuk tulisan tapi juga foto-foto yang tidak tercetak yang bila tidak didokumentasikan dengan baik akan hilang begitu saja. (Sungguh alasan yang makin menguatkan bahwa saya memang seorang hoarder)
Ketiga, saat saya mencoba-coba beberapa buku harian digital, saya mulai menemukan jawaban atas segala “kebutuhan’ saya itu. Aplikasi buku harian digital sekarang bisa menyimpan foto, otomatis menyertakan stempel waktu saat saya menulis, bahkan cuaca dan tempat saya menulispun tercatat dengan baik. Selain itu, buku harian digital ini juga selalu sinkron ke setiap alat elektronik yang saya punya. Sangat menggoda.
Keempat, seorang teman, Kimi, ikut menyetani saya untuk memakai aplikasi buku harian yang sudah dipakainya sejak lama. Dalam blognya dia menggambarkan betapa menyenangkannya mencatat kejadian harian di aplikasi yang bahkan dia beli versi premiumnya itu. Aahh…saya jadi makin tergoda.
Akhirnya sudah sebulan ini saya mencatat bermacam kejadian di aplikasi buku harian alias diary digital. Saya melengkapinya dengan foto, mood saat saya menulis, juga aneka kutipan. Bah! Justru makin berwarna catatan harian saya!
Apakah saya harus menyerah dari seorang yang berusaha tetap analog menjadi lebih digital?
Tapi trus koleksi fountain pen saya mau diapain dong kalau nggak dipakai untuk nulis buku harian??
3 thoughts on “Seorang Analog di Dunia Digital”
Ish itu moleskin edisi Le Petit Prince lucu amat. Btw, jadinya pakai Journey, Mas? Beli yang premium juga?
Iya, akhirnya pakai Journey dan beli yang premium. Agak penasaran juga sih sama langganannya supaya bisa pakai Journey di laptop juga. Tapi ini nyobain dulu yang premium di HP deh. Nanti kalau makin puas, mungkin akan mulai langganan.