Juli yang Gelap
Juli 2021 menurut saya adalah bulan yang paling gelap dari semua bulan yang pernah saya rasakan dalam hidup. Bulan ini, hampir setiap hari ada berita duka. Saya sampai sempat mengatakan bahwa berita duka di bulan ini sudah seperti sapaan “selamat pagi” yang rutin hadir setiap hari. Teman lain menimpali bawah acara tahlilan bagi keluarga yang meninggal kini menjadi pengganti acara kumpul saat lebaran atau acara pernikahan. Ya, segelap itulah bulan Juli ini bagi saya.
Di sisi lain, yang menyebalkan adalah pemerintah sibuk mengatakan bahwa ini adalah karena varian baru virus Korona. Padahal bagi saya ini adalah dampak dari penanganan pandemi yang tidak pernah serius dilakukan sejak awal. Bayangkan, di awal pandemi, bukannya melakukan antisipasi untuk menghadapi keadaan yang buruk, pemerintah malah membuat program diskon tiket pesawat agar makin banyak orang berwisata. Sebuah langkah yang menurut saya akhirnya kita tuai hasilnya sekarang.
Dan di saat keadaan makin buruk, akhirnya pemerintah mengambil keputusan untuk memberlakukan PPKM Darurat 3-20 Juli. Konon PPKM Darurat memiliki aturan yang lebih ketat daripada berbagai istilah pembatasan lain yang pernah dilakukan pemerintah (dan menuai kritik karena istilahnya selalu berganti-ganti sehingga membingungkan).
PPKM Darurat akan menjadikan penyekatan di jalan-jalan sebagai ujung tombak. Hanya orang-orang dengan kepentingan tertentu yang boleh melintas di jalanan. Sisanya harus berdiam di rumah saja. Ini tentu kebijakan yang bisa ditebak kesemrawutannya di lapangan bahkan sebelum kegiatannya dimulai. Dan benar saja, lagi-lagi tontonan pilu bisa disaksikan di media-media berita tentang penerapan PPKM Darurat di lapangan. Mulai dari kemacetan panjang (karena jalanannya ditutup tapi kantor-kantor tetap mengharuskan pegawainya bekerja), penyesuaian aturan di sana-sini, pengecualian ini-itu, sampai ke aneka demonstrasi menolak aturan karena banyak yang tidak bisa mencari nafkah karena pembatasan itu.
Di tengah ingar-bingar itulah berita-berita duka tetap menyelusup dan meremukkan hati saya. Tontonan prosesi sepi mengantar jasad-jasad ke liang lahat jadi bagian paling sedih dari itu semua. Jasad-jasad itu adalah teman saya, kenalan, orang tua teman, sampai ke pak de saya sendiri. Mereka semua menjadi korban dari pandemi yang entah di mana ujungnya karena penanganan yang semrawut.
Begitulah Juli saya. Gelap.