September – November yang Penuh Dendam
OK, sudah sejak jauh-jauh hari saya bilang bahwa saya ini memang orang yang susah untuk konsisten melakukan sesuatu yang bersifat rutin. Kalau dirunut ke belakang, maka sungguh terlihat jejak saya di tempat-tempat kursus musik yang akhirnya tidak satupun alat musik saya kuasai secara baik dan benar. Begitu juga di berbagai lembaga kursus bahasa yang akhirnya tidak satupun bahasa asing yang berhasil saya kuasai secara kaafah. Ya, saya memang begitu. Hangat-hangat tahi ayam.
Saya bicara begitu ya karena ada loncatan beberapa bulan saya absen menulis catatan akhir bulan (walau untuk bulan yang terakhir, saya mau menyalahkan penyedia jasa blog saya yang tiba-tiba servernya terdampak kebakaran sehingga blog ini down). Tentu saja itu hanya usaha mencari pembenaran atas ketidakkonsistenan saya dalam apa yang saya janji untuk lakukan tiap akhir bulan. Tapi ya sudah, saya mau membayar utang tulisan tiga bulan terakhir itu dalam satu sapuan jagad alias dalam satu postingan ini.
Pada dasarnya, tiga bulan yang saya lewatkan ini isinya adalah dendam kesumat. Banyak hal yang sejak awal pandemi tidak kami lakukan, kami umbar selama tiga bulan ini. Apalagi setelah saya mendapat suntikan vaksin kedua di pertengahan September. Semua jadi terasa lebih cerah. Aneka akses bisa saya nikmati. Mulai dari jalan-jalan di taman, masuk ke mal, makan di restoran, atau sekadar ngopi di kedai kopi yang sudah lama tidak saya kunjungi.
Selama September sampai November juga akhirnya saya berkesempatan untuk mengunjungi saudara-saudara yang karena pandemi tidak pernah saya kunjungi. Dalam kesempatan itu juga saya membawakan aneka hasil panen dari kebun. Lucunya, saya mulai merasa seperti almarhum Bapak saya yang dulu senang membagi-bagikan hasil kebun ke saudara-saudara, langsung dari kebunnya.
Hal unik yang terjadi pada September adalah tiba-tiba Debin (OK, saya mulai mengganti kata yang biasa saya pakai untuk pasangan saya dengan nama panggilannya saja) memesankan nisan untuk makam Ibu saya. Bisa jadi ini adalah hal paling aneh yang diberikan Debin kepada saya. Berkat dia, di bulan Oktober makam Ibu saya bernisan.
Hal lain yang terjadi pada November adalah akhirnya saya ke dokter gigi! Bayangkan, bahkan ke dokter gigi saja membuat saya sangat senang! Sudah dua tahun saya menahan diri untuk tidak ke dokter gigi, padahal berbagai masalah pada gigi dan gusi sudah saya rasakan selama waktu itu. Saya benar-benar tidak ingin membebani dokter gigi saya yang sudah tua dengan virus yang mungkin saja saya bawa. Karena itu, saat konon pandemi sedang melandai, saya memberanikan diri untuk membuat janji dan berobat.
Di akhir November, ada perayaan enam tahun hubungan saya dengan Debin. Juga ada rezeki dari seorang teman yang mau memperluas bisnisnya sehingga saya dipercaya untuk memegang berbagai hal dengan bayaran yang lumayan. Selain itu ada kehebohan ganti lensa kacamata yang membuat saya harus bolak-balik ke optik untuk memperbaiki bahkan memesan beberapa lensa lain. Sungguh menyebalkan mata yang mulai harus pakai beberapa kacamata untuk bermacam keperluan ini.
Kira-kira itulah yang terjadi sepanjang tiga bulan saya menghilang dari blog ini. Sepanjang tiga bulan itu, tidak seperti bulan-bulan sebelumnya, saya dan Debin lebih sering bersama. Entah saya yang ke Jakarta atau Debin yang ke kebun. Semua terasa lebih menyenangkan dalam tiga bulan terakhir ini. Mungkin karena memang pandemi sudah makin landai (kata pemerintah). Mungkin juga karena ada perasaan bahwa kami ingin sedikit bersenang-senang setelah melewati bulan-bulan yang kelam.