Semarang dan Perjalanan Mencari Akar
Saya memang tidak pernah tinggal di Semarang, tapi kota ini adalah tempat Bapak dan Ibu saya lahir dan dibesarkan, karenanya mereka sering membawa saya ke kota ini, memahat kenangan indah di dalam kepala saya. Karena itulah perjalanan ke kota ini membuat hati saya hangat bukan main. Karena berjalan ke kota ini berarti napak tilas hidup Bapak dan Ibu saya.
Setelah beristirahat sebentar di kota Pemalang, seperti dalam tulisan sebelumnya, maka perjalanan kami lanjutkan menuju kota tujuan, Semarang. Saya sih merasa harusnya perjalanan tidak terlalu lama, tapi rupanya perjalanan dari Pemalang ke Semarang masih +/- 130 km alias dua jam lebih. Kami sempat berhenti di satu tempat istirahat di dalam jalan tol, setidaknya untuk meluruskan kaki, membuang hajat, dan menikmati matahari yang mulai oranye tanda hari akan segera berakhir.
Saat kami masuk kota Semarang, waktu menunjuk pukul 17.25. Jalanan agak ramai karena mungkin banyak orang pulang dari bekerja. Untungnya Waze menyelamatkan kami dari kesasar dan kejebak macet. Sebelum magrib kami sudah masuk kamar hotel bahkan sebentar kemudian sudah menikmati kolam renangnya. Rasa capai setelah nyetir seharian langsung hilang saat badan terbasuh air segar.
Malamnya kami menyusur jalan Depok. Dalam ingatan saya, jalan ini tidak terlalu lebar dan penuh dengan tempat makan enak. Rupanya ingatan saya tidak sepenuhnya benar. Jalan Depok terasa lebih lebar sekarang. Tempat parkir untuk mobilpun tersedia di pinggir-pinggir jalannya. Tapi ingatan tentang tempat-tempat makannya tidak salah. Di sini ada makanan yang saya cari-cari, namanya Tahu Pong.
Tahu Pong berasal dari kata tahu “kopong” alias kosong atau tidak berisi. Jadi tahu yang dipakai dalam sajian ini adalah tahu yang tidak padat. Ya, mirip-mirip tahu Sumedang lah. Tahu itu kemudian digoreng sampai agak kering, lalu dimakan dengan saus hitam yang adalah campuran kecap manis, bawang putih, dan petis. Dulunya, makan tahu pong ya begitu saja, tapi kini dalam satu piring tahu pong bisa ditambahi bermacam pilihan seperti gimbal atau bakwan udang, aneka olahan telur, dan bahkan gorengan lainnya. Hal lain yang juga khas dari Tahu Pong adalah acar lobak/timunnya yang manis, asam, dan lembut di lidah.
Malam itu pilihan kami jatuh pada warung tenda tahu pong yang banyak diulas di Google sebagai tempat makan yang enak dan murah meriah bernama Tahu Pong Pak Sabar. Warungnya sederhana banget! “Dapur”-nya hanya terdiri dari sebuah gerobak kecil berisi persediaan bahan jualan dan sebuah tungku api. Chef-nya adalah seorang bapak tua bernama pak Sabar dan sous chefnya, juga tak kalah tua, adalah adik pak Sabar. Mereka berdualah yang mengelola warung tenda ini. Satu menerima pesanan, menyiapkan bahan, dan satu lagi memasak. Sebuah kerja tim yang apik. Kamipun menikmati benar makan malam pertama di Semarang ini.
Semarang Seharian
Memilih untuk tidak sarapan di hotel, kamipun memulai petualangan berjalan kaki menyusur jalan-jalan di kota ini. Tujuan pertama adalah Pecinan. Banyak yang bilang, Pecinan Semarang serunya kalau didatangi pada malam hari di akhir pekan karena saat itu banyak pedagang makanan khas China yang menggelar dagangannya di sana. Tapi kami berpikir bahwa kalau ingin menikmati suasanya Pecinan yang sebenarnya ya jangan di saat ada keramaian. Nikmati saja kegiatan keseharian dan kesibukan Pecinan Semarang di hari biasa.
Pecinan Semarang sebenarnya adalah sebuah daerah yang penuh dengan ruko dan kegiatan jual beli. Pagi menjelang siang saat kami datangi, tempat ini sangat mirip dengan suasana tempat perdagangan pada umumnya. Orang-orang berlalu-lalang membawa belanjaan, kuli-kuli sibuk mendorong gerobak berisi berkarung-karung barang dagangan, dan yang tidak ketinggalan, kendaraan roda dua dan empat ditambah becak ikut menambah hiruk-pikuk tempat itu. Sambil menikmati suasana itu, kami berjalan menuju satu tempat yang cukup terkenal, namanya Rumah Kertas Ong Bing Hok.
Rumah Kertas Ong Bing Hok terletak di sebuah gang kecil bernama Gang Cilik (sesuai ya dengan namanya). Di rumah kertas inilah Ong Bing Hok yang merupakan generasi keempat penerus usaha pembuatan perlengkapan upacara kematian dalam tradisi China memproduksi bermacam bentuk rumah yang nantinya “dihantarkan” kepada arwah mereka yang sudah meninggal.
Dari rumah kertas, kami berlanjut menyusuri pasar yang sangat mirip dengan pasar di daerah Glodok, Jakarta. Aneka bahan makanan dijual di sini. Tidak hanya bahan makanan basah, tempat-tempat makanpun kadang terselip di antara keriuhan pedagang emperan. Tidak ketinggalan, sajian jajan pasar warna-warni juga terlihat sangat menggoda untuk dibeli dan dicicipi.
Hari menjelang siang, saya mengajak debin menuju Gang Lombok, tempat asal mulanya Loenpia Semarang. Di tempat ini, pada hari-hari libur, antrean pembelinya bisa sampai tiga jam! Untungnya, karena kami datang di hari biasa, kami hanya butuh menunggu sekitar satu jam. Masih lama sih untuk antrean beli loenpia satu besek, tapi ya mau bagaimana lagi? Kan justru ini serunya menikmati makanan dari tempatnya berasal alias dari akarnya.
Loenpia sudah di tangan, saatnya mencari tempat untuk makan siang. Pilihan jatuh pada makanan bernama Mie Titee. Mi ini sudah sejak zaman saya kecil saya dengar namanya. Tapi anehnya bapak dan ibu tidak pernah membawa saya apalagi saudara-sudara yang lain untuk memakannya. Saat menyebut makanan itupun mereka biasanya sambil tersenyum-senyum. Selidik punya selidik, karena debin adalah keturunan China dan bisa berbahasa Hokkien, rupanya kata “tite” atau yang ditulis menjadi “titee” artinya adalah kaki babi. Ya pantas saja kami tidak pernah memakannya apalagi saat momen lebaran!
Mie Titee yang kami datangi konon adalah restoran Mie Titee yang paling terkenal di seantero Semarang. Namanya Mie Titee Grajen. Letaknya di jalan Gajah Mada no. 63 A. Menu mereka sederhana saja. Pilihannya hanya dua, mi atau bihun. Apapun isinya harganya sama. Ada pilihan kulit + daging babi dan udang, daging babi dan udang, atau udang saja.
Setelah makan siang kami kembali ke hotel untuk beristirahat sebentar sambil menikmati loenpia. Rencananya saat sengatan matahari Semarang mulai reda, kami akan kembali menyusuri jalanan kota ini dan menikmati suasana Kota Lama Semarang. Bagaimana ceritanya? Akan saya bagikan di bagian ketiga tulisan ini.