Vocatio: Mencari Diri Dalam Bekerja

Vocatio: Mencari Diri Dalam Bekerja

Menarik rasanya membaca tulisan Bre Redana dalam harian Kompas edisi Minggu (24/7). Ia mengungkapkan bagaimana manusia-manusia di “zaman bergegas” selalu ingin serba cepat. Cepat sukses, cepat kaya, cepat terkenal, dan karenanya menempuh segala cara untuk meraihnya (dengan cepat pula) meskipun konyol. Salah satu contohnya adalah dengan menabrakkan diri ke truk yang sedang berjalan demi tenar akibat konten viral.

Tapi bukan itu yang sebenarnya ingin saya bahas dalam tulisan ini. Saya lebih tertarik pada penggunaan kata latin vocatio yang artinya kurang lebih adalah menemukan diri dalam bekerja. Ini menarik karena sebelumnya saya menonton sebuah video tentang Romo Magnis yang dalam salah satu obrolannya menyatakan bahwa dia sebagai seorang Jesuit bekerja menurut penugasan ordonya. Dia tidak menentukan sendiri pekerjaannya, walaupun dalam tahapan penugasan ada semacam kesepakatan antara seorang yang hendak ditugasi sesuatu dengan ordo yang menugasinya. Dan karena itulah dia bergembira dalam pekerjaannya.

Berapa banyak orang yang berbahagia dalam pekerjaannya?

Vocatio, menemukan diri dalam bekerja, adalah sebuah kata yang menurut saya sangat kuat. Di dalamnya terdapat sebuah filosofi di mana bekerja adalah sebuah panggilan. Sangat sulit rasanya membayangkan seseorang bisa menemukan dirinya dalam bekerja bila dia dalam keadaan terpaksa saat melakukan segala hal dalam pekerjaannya. Alih-alih menemukan diri, dia hanya akan merasa bekerja sebagai bentuk penyiksaan baik lahir maupun batin.

Saya mengenal dekat orang-orang yang seperti itu. Bekerja adalah siksaan. Setiap Senin menjelang, rasanya seperti hendak masuk ke rumah jagal. Ngeri. Sebagai catatan, mereka ini bukan orang-orang bergaji rendah (setidaknya menurut saya). Mereka digaji cukup tinggi dan dengan gajinya mereka bisa membeli aneka rupa barang tanpa harus berpikir dulu. Tapi apakah itu membuat mereka bahagia? Rupanya, setidaknya bagi orang-orang yang saya kenal dekat itu, tidak.

Saya jadi ingat pesan seorang teman saat saya masih merantau di Bali. Dia bilang bahwa yang penting adalah mengelola pengeluaran, bukan pemasukan. Karena berapapun besarnya pemasukan, kalau pengeluarannya juga besar ya sama saja. Pemikiran yang menarik sih. Tapi bisa jadi dalam praktiknya tidak sesederhana itu.

Di zaman yang mengedepankan gaya hidup gemerlap dan konsumerisme yang eksesif, tak heran orang harus membanting tulang, rela masuk “rumah jagal” demi mendapatkan uang yang bisa dipakai untuk “healing”, entah dengan berbelanja dan menyantap hidangan mahal di mal atau jalan-jalan dan menginap di resor mewah tanpa lupa untuk membagikannya di media sosial.

Di penutup tulisannya Bre Redana mendoakan agar orang-orang yang demikian cepat sembuh karena dia mengambil logika anak-anak zaman sekarang yang menyebut liburan atau bepergian sebagai “healing” alias “penyembuhan”. Bila ada yang perlu disembuhkan, berarti ada yang sakit kan? Dan untuk mereka yang sakit, maka doa kita adalah semoga lekas sembuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *