Pekalongan: Kota Batik dan Makanan Enaknya
Pekalongan, kota pelabuhan di provinsi Jawa Tengah, adalah kota pertama tempat kami menghabiskan malam. Kota ini dalam ingatan saya adalah sebuah kota kecil yang tidak pernah saya inapi sebelumnya. Mungkin karena jaraknya nanggung kalau dari Jakarta atau mungkin juga karena waktu itu keluarga saya tidak menemukan hal menarik di kota ini. Maklumlah, zaman itu belum ada mesin pencarian daring.
Kami memasuki kota ini selepas Maghrib dalam deraan hujan yang cukup deras. Setelah keluar dari pintu tol, kamipun langsung mencari penginapan. Pilihan jatuh pada sebuah penginapan di pinggir jalan utama. Sebuah penginapan khas Pantura yang tampaknya diinapi mereka yang sekadar transit dalam perjalanan jauh menuju atau pulang dari kota lain.
Setelah mandi dan bersih-bersih seadanya, kamipun mencoba menyusuri kota Pekalongan di malam hari yang sendu karena hujan masih turun dengan derasnya. Beberapa bangunan pusat perbelanjaan menyala terang di tengah muramnya malam. Bangunan-bangunan ini tidak saya kenali sebelumnya. Saya hanya ingat ada satu pusat perbelanjaan di Pekalongan yang ramai bukan main pada zamannya. Tapi malam itu, tampak tua dan usang dimakan usia.
Malam itu kami akhirnya memutuskan untuk mencoba salah satu makanan khas Pekalongan yaitu sego atau nasi megono. Makanan ini sangat sederhana, hanya nasi dengan cacahan nangka muda yang dicampur dengan kelapa. Rasanya gurih dan asin. Malam itu kami memakannya dengan lauk garang asem yang menurut saya rasanya berbeda dengan yang di ingatan saya tentang garang asem. Tapi ya sudahlah, malam itu memang kami agak sial karena tempat makan yang kami incar tutup, jadi kami terima nasib saja. Padahal dari obrolan dengan sepupu yang orang Pekalongan dan memang tinggal di kota ini, sego megono harusnya sangat enak kalau dimakan bersama tempe mendoan atau gorengan lain yang biasanya tersedia di warung tempat kami makan ini. Akhirnya malam itu kami kembali ke hotel dan berharap besok kami akan menemukan banyak hal menarik di kota ini.
Seharian di Pekalongan: Makanan dan Belanja-belanji
Hari berganti. Saatnya menyusuri kota. Karena tak ingin terikat jadwal check-out hotel maka pagi itu kami langsung mengemasi barang tanpa meninggalkannya di hotel alias siap berangkat ke kota selanjutnya tanpa kembali ke hotel lagi. Tujuan pertama kami berbeda. Saya ingin mencobai tauto, makanan khas Pekalongan berupa soto dengan tauco, sedangkan suami ingin pergi ke pelabuhan untuk mengabadikan kegiatan para nelayan di sana.
Tauto H. Kunawi
Terletak di gang sepit yang kalau tidak dicari dengan hati-hati tidak akan ketemu, tauto H. Kunawi konon adalah salah satu tauto legendaris dan tenar di kota Pekalongan. Pagi itu saya mencarinya dengan berjalan kaki, itupun sempat kesasar.
Tempatnya sederhana. Cenderung tidak terlihat karena tertutup oleh pedagang gorengan yang berada tepat di sampingnya. Begitu masuk, seperti layaknya tempat makan yang hanya menyajikan satu menu makanan, saya langsung ditanyai: “campur” atau “daging saja”? Yang biasanya berarti: sotonya mau pakai jeroan (campur) atau tidak? Sayapun langsung menjawab: “campur!”
Kesan pertama yang saya dapat dari tauto H. Kunawi adalah mangkuknya yang khas betul! Khas mangkuk soto di Jawa Tengah yang bergambar bunga dan berukuran kecil. Tauto ini warna kuahnya agak gelap, mungkin karena campuran tauco di dalamnya. Saat saya hirup kuahnya, rasa gurih dan segar terasa di mulut. Bumbunya yang medok membuat tauto ini begitu nikmat apalagi bila saat memakannya ditemani oleh tempe mendoan hangat yang diantar ke meja oleh pedagang gorengan yang saya sebutkan tadi, terletak di samping warung ini. Lengkap sekali rasanya!
Saat meninggalkan tempat ini, saya sempat berjalan ke sekelilingnya. Rupanya, bila ingin membawa mobil, tersedia tempat parkir di ujung gang sempit ini. Tempat parkirnya memang tidak terlalu luas, tapi lumayanlah daripada bingung mau parkir di mana. Sebagai catatan, gangnya memang sempit, jadi membawa mobil ke dalam gang ini perlu ekstra hati-hati.
Museum Batik Pekalongan
Setelah perut terisi tauto yang hangat, sayapun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju museum batik Pekalongan. Dalam perjalanan saya melewati ruas-ruas jalan yang menarik. Ada semacam pusat perdagangan di sekitar Jalan Sultan Agung, bangunan rumah tua yang tampak tidak terawat, dan pecinan di sekitar Jalan Blimbing hingga kali Pekalongan.
Setibanya di museum batik, saya disambut oleh para petugas tiket yang ramah. Tiket masuk museum ini tidak mahal, hanya Rp7000, sudah termasuk pemandu dan aktivitas mencoba membatik di akhir perjalanan. Sayangnya, walau terdapat beberapa pilihan aktivitas lain, namun aktivitas-aktivitas itu hanya ada bila kita melakukan konfirmasi terlebih dahulu alias booking dulu.
Pagi itu saya bergabung dengan rombongan yang sudah terlebih dahulu datang untuk mengikuti perjalanan melihat-lihat koleksi batik di museum ini. Pemandu dengan fasih menjelaskan aneka koleksi museum sambil dengan ramah menjawab berbagai pertanyaan dari pengunjung.
Di akhir perjalanan, saya mencoba untuk membatik. Tentu saja bukan membatik secara lengkap, tapi hanya menggambar desain batik, dan membubuhkan lilin di atasnya memakai canting. Selain itu saya juga mencoba untuk membubuhkan lilin dengan menggunakan cap.
Rumah Makan Puas
Rumah makan Puas berbeda dengan rumah makan yang biasa kami dapati di sepanjang pantai utara Jawa. Rumah makan ini menyajikan menu-menu makanan khas Timur Tengah dan salah satu yang melegenda adalah nasi kebulinya. Lalu kenapa saya memilih makan nasi kebuli di Pekalongan? Jawabannya hanya satu: nostalgia!
Ceritanya dalam salah satu perjalanan mudik, saya dan keluarga diajak makan di restoran ini oleh saudara yang memang tinggal di Pekalongan. Sejak itu setiap mudik, saya selalu berusaha mampir ke sini. Tapi sayangnya, selalu pada tanggal yang salah alias rumah makan ini masih libur lebaran. Makanya kali ini, saya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk makan di sini.
Walau lokasi rumah makannya sudah berubah dari lokasi aslinya, tapi Rumah Makan Puas tetap konsisten dengan menu-menunya. Yang tak pernah terlupakan, selain nasi kebuli, adalah menu es sirop. Aneh ya, bahkan waktu saya masih kecil saja sudah bingung, kenapa restoran menyediakan menu es sirop? Bukannya itu minuman rumahan? Tapi ya begitulah restoran ini, dan tentu saja demi nostalgia saya memesannya.
Rumah makan yang sudah buka sejak tahun 1970-an ini lagi-lagi memukau saya. Rasa nasi kebulinya sangat kaya rempah. Dagingnya besar dan empuk bukan main. Dagingnya merekah di mulut tanpa perlawanan menandakan bahwa daging itu telah dimasak dalam waktu yang lama hingga bumbunya merasuk semua. Makan di tempat ini, selain nostalgia juga puas!
Pusat Grosir Batik Sentono
Dari saudara yang tinggal di Pekalongan kami mendapat rekomendasi tempat ini untuk mencari-cari kain batik dan membeli oleh-oleh. Karena toh lokasinya searah dengan kota tujuan kami selanjutnya, maka kami mampir ke sini.
Bentukan pasar ini mengingatkan saya pada pasar Sukawati di Bali atau Beringharjo di Yogyakarta. Ya gitu deh, khas tempat wisatawan mencari oleh-oleh. Masalah harga, harus pintar-pintar menawar.
Di tempat ini kami mendapatkan beberapa oleh-oleh untuk pegawai di rumah dan juga menutup perjalanan kami di Pekalongan. Selanjutnya kami kembali meniti jalan menuju kota berikutnya.
Tulisan ini ada bagian pertama dari serial Suka Ria di Pantura.