ROADRUNNER: A Film About Anthony Bourdain

ROADRUNNER: A Film About Anthony Bourdain

Travel isn’t always pretty. You go away, you learn, you get scarred, marked, changed in the process.

Anthony Bourdain

Ada banyak chef yang saya kagumi. Sebut saja Jamie Oliver karena mengajarkan betapa santainya memasak dengan bahan-bahan sederhana. Keith Floyd karena dia adalah pelopor acara memasak di ruang-ruang terbuka dan tempat-tempat tak biasa. Lalu ada Massimo Bottura karena dia adalah chef yang begitu mencintai bahan-bahan masakan lokal, juga Marco Pierre White karena dia adalah “the god father of modern cooking” dan gaya hidupnya yang keren banget. Sampai Stephen Yan karena bagaimanapun harus saya akui dialah yang membuat saya gemar memasak sejak kecil dan belakangan setelah setua ini dijuluki sebagai seorang “foodie”. Namun dari semua chef itu, hanya ada satu yang saya kagumi bukan karena karyanya dalam bidang memasak namun justru karena karyanya dalam bidang menulis tentang manusia, budaya, dan dunia. Dia adalah chef Anthony Bourdain.

Bagi saya, Anthony Bourdain adalah seorang penulis kuliner yang sempurna. Ia bukan hanya punya latar belakang pendidikan formal dalam bidang memasak tapi juga adalah seorang yang berhasil meraih jabatan tertinggi pada sebuah restoran tenar di New York. Dan bukan hanya itu, ada yang membuatnya lebih spesial: dia bukan hanya pandai membahas dunia kuliner secara an sich, tapi juga berbagai hal di balik sebuah masakan. Ini sangatlah menarik! Kenapa? Karena sesungguhnya menurut saya, makanan adalah produk budaya dan karenanya ada begitu banyak hal menarik dari sebuah makanan dan ini yang selalu berhasil disuarakan lewat tulisan-tulisannya.

Sejak pertama saya menikmati acara yang dibawakan Anthony Bourdain, saya selalu bercita-cita untuk bisa bepergian dan mencobai makanan-makanan di tempat yang ia datangi. Anthony Bourdain juga mengajari saya untuk memandang segala sesuatu dengan cara berbeda karena dia selalu memandang segala hal dengan sinis. Di sini dia memberi nilai berbeda akan pandangan sinis. Bahwa memandang dengan sinis tidak selalu berarti buruk, tapi justru memancarkan kejujuran yang sesungguhnya. Kata-katanya boleh jadi pedas dan menyinggung, tapi itulah kebenaran yang terkadang memang pahit.

Dalam sebuah obrolan dengan seorang teman yang juga suka makan dan jalan-jalan, kami sepakat bahwa kalaulah kami diberi sebuah kemampuan istimewa, maka kemampuan untuk mengungkapkan perjalanan dan pengalaman kuliner dengan cara Anthony Bourdainlah yang kami inginkan. Ini karena kami begitu kagum padanya.

Nah, tadi pagi akhirnya saya sempat juga menonton film dokumenter tentang Anthony Bourdain. Film ini benar-benar membuka mata tentang bagaimana perjalanan hidup dan kesehariannya. Sayapun jadi sedikit memahami bagaimana cara pandangnya akan dunia terbentuk dan bagaimana pandangannya itu kemudian bisa mengubah dunia.

Sayangnya, seperti dalam pembukaan, tidak ada akhir yang bahagia dalam film ini. Walau saya terinspirasi untuk melakukan beberapa hal setelah menonton film ini, tapi film ini tetap menorehkan kesedihan yang mendalam bagi saya, setidaknya sampai saya menuliskan tulisan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *