Perjalanan Ke Selatan Yang Penuh Kejutan
Setelah di awal tahun saya dan Debin menyusuri pantai utara Jawa, kali ini di pertengahan tahun kami berkesempatan untuk menyusuri sebagian pantai selatannya. Perjalanan ini cukup istimewa karena bisa jadi ini adalah perjalanan road trip terakhir kami setidaknya sampai satu tahun ke depan.
Sama seperti dalam perjalanan pembuka tahun, acara road trip kali ini juga tanpa rencana yang detail. Hanya garis besar saja yang kami buat, seperti kapan harus berangkat, tujuan akhir, dan kapan harus pulang. Hal-hal lain seperti di mana saja kami harus menginap, apa saja yang harus kami datangi, adalah misteri yang akan kami pecahkan sesuai dengan keadaan.
Pada tulisan bagian pertama ini, saya akan menceritakan perjalanan kami dari Jakarta menuju Batukaras di ujung selatan Jawa.
Nasi Tutug Oncom (NTO) dan Kelom Geulis
Pada pembuka perjalanan ini, saya dan Debin menempuh perjalanan dari Jakarta menuju Cianjur, lalu lanjut ke Bandung dan berakhir di Tasikmalaya. Perjalanan dari Jakarta menuju Cianjur memakan waktu sekitar empat jam. Lalu dari Cianjur menuju Bandung dan Tasikmalaya kami tempuh dalam waktu sekitar enam jam. Sebuah perjalanan yang cukup melelahkan namun menyenangkan apalagi ketika sampai di Tasikmalaya kami disambut oleh kemeriahan Jl. Cihideung yang dihias dengan payung-payung geulis khas Tasikmalaya setelah sebelumnya makan siang di sebuah warung Nasi Tutuh Oncom yang agak aneh. Kenapa aneh? Karena rupanya tidak seperti yang biasa disajikan di Jakarta, nasi tutug oncom di Tasikmalaya yang hanya nasi dengan campuran oncom saja. Tidak dilengkapi dengan ayam goreng atau lauk-lauk lainnya. Jadi rasanya ya cuma nasi, agak asin, dan pedas. Sudah.
Masih tentang makanan, saya juga menemukan sebuah makanan dengan nama yang tidak lazim di Jl. Cihideung. Namanya Fuyunghai. Biasanya fuyunghai, setidaknya yang saya kenal, adalah makanan berbentuk seperti telur dadar, tebal, dengan isian yang kalau di restoran mahal adalah kepiting atau rajungan, atau kalau di tempat yang biasa saja adalah sayuran seperti kol, daun bawang, dan sedikit potongan ayam. Telur dadar itu lalu disiram dengan saus asam manis yang biasanya juga berisi kacang polong.
Nah, di Tasikmalaya makanan itu rupanya diinterpretasikan berbeda oleh si bapak penjualnya. Fuyunghai yang saya makan lebih mirip takoyaki berukuran jumbo dengan tepung yang padat. Tanpa saus apa-apa dan hanya ditaburi bubuk bumbu mirip bumbu mi instan. Unik ya!
Tidak berhenti sampai di situ, makanan bernama spaghettipun diinterpretasikan dengan sangat liar oleh si bapak menjadi makanan serupa fuyunghai di atas namun dibungkus memakai selembar kulit lumpia dan digoreng hingga kering. Juara!
Setelah puas berkeliling di sekitar Jl. Pasar Wetan dan sekitarnya, saya dan Debin lanjut mencari pusat kerajinan payung dan kelom geulis yang beberapa tahun lalu sempat jadi jadi tren di Jakarta. Sayangnya saat kami datangi kedua tempat itu sepi dan tidak terlalu banyak yang bisa kami lihat di sana. Mungkin karena ini bukan waktunya liburan.
Sorenya kami memutuskan untuk menginap di sebuah hotel sederhana di kota ini. Tak banyak yang bisa kami lihat di sini. Jadi, haripun kami tutup dengan sedikit kecewa.
Makam Nike Ardilla dan Kampung Siluman
Pagi berikutnya kami memulai perjalanan agak pagi karena selain tidak betah di hotel juga karena ada beberapa titik perhentian yang akan kami datangi hari ini.
Perhentian pertama adalah makam penyanyi (legendaris?) tahun 1990-an, Nike Ardilla. Makam ini memang bukan sembarang makam sih. Soalnya bahkan sampai sekarang masih ada yang ngefans berat pada Nike Ardilla meskipun dia sendiri sudah meninggal sejak 28 tahun yang lalu. Mungkin benar kata orang, ketika seseorang (khususnya artis) meninggal di masa kejayaannya maka banyak orang yang akan mengenang.
Makam ini terletak di Ciamis yang hanya berjarak tak lebih dari 30 menit dari Tasikmalaya. Karena itulah kami menyempatkan berhenti di makam ini.
Perjalanan lalu kami lanjutkan ke Banjar di mana di kota ini sedang dihelat sebuah acara berjudul “Hajat Bumi”. Acara ini menarik karena diadakan di sebuah desa kecil yang nama dan letaknya agak ajaib. Nama desa yang kami datangi adalah Kampung Siluman. Konon pada zaman dahulu, kampung ini penuh dengan hutan dan rawa, sehingga banyak orang tersasar dan tenggelam, makanya dinamakan nyileman yang artinya hilang atau tenggelam. Namun dalam perkembangannya kata nyileman berubah menjadi siluman.
Di desa ini ada situs menarik yang kami datangi. Situs ini adalah semacam hutan yang dikeramatkan oleh warga sekitar. Di dalamnya terdapat pohon-pohon besar dengan berbagai sesajen di bawahnya. Pada saat saya dan Debin masuk ke hutan itu, ada beberapa orang yang kami lihat sedang khusyuk berdoa di sana.
Setelah puas menjelajah kampung unik ini, kamipun melanjutkan perjalanan ke Pangandaran. Perjalanan kami tempuh dalam waktu sekitar dua jam dan ketika sampai di Pangandaran, kami langsung memutuskan untuk lanjut ke Batukaras dan mencari penginapan di sana karena rasanya lebih menarik.
Perjalanan dari Pangandaran ke Batukaras memakan waktu kurang lebih satu jam dan keseruan di sana akan saya tulis di bagian kedua rangkaian perjalanan kami ke selatan ini.