
Penyesalan
Minggu lalu ada dua peristiwa yang membawa saya kembali ke masa lalu. Pertama adalah reuni perak (25 tahun) fakultas saya dan yang kedua adalah pertemuan dengan seorang teman lama yang sudah bertahun-tahun tidak berjumpa (kami tentu menyalahkan pandemi atas hal ini). Saya akan menceritakannya satu per satu.
Pertama, reuni fakultas. Ini sebenarnya sudah lama direncanakan. Setidaknya oleh teman-teman yang menjadi panitia. Kalau saya mah, bahkan bila tidak diingatkan pada beberapa hari sebelumnya, saya lupa. Untung saja ada seorang teman baik yang malam-malam mengirim pesan WA dan mengingatkan untuk datang.
Sebenarnya kembali ke kampus bukanlah hal yang istimewa bagi saya. Beberapa tahun lalu saya agak sering berada di kampus baik untuk menemani Debin maupun untuk belajar bahasa asing di lembaga bahasa yang dimiliki kampus. Tapi kembali bertemu dengan teman-teman seangkatan yang sudah menyebar di berbagai daerah, ini baru istimewa. Setidaknya 75% teman sejurusan datang dalam acara ini. Herannya, tidak banyak yang berubah dari wajah-wajah apalagi kelakuan kami. Mungkin nanti, kalau ada reuni emas, barulah banyak yang akan berubah.
Dari pertemuan dengan teman-teman sejurusan, saya tersadar bahwa nasib memang membawa orang ke tempat-tempat yang kadang tidak terkira. Dulu kami sama-sama belajar, jadi mahasiswa di universitas yang sama, jurusannya sama, ilmunyapun sama, tapi lalu nasib membawa kejutan. Saya dan seorang teman karib dalam canda berkata: “Dulu dia selalu naik kereta, sekarang dia bahkan nggak tahu kalau untuk naik kereta harus pakai uang elektronik karena selalu naik mobil dan tidak pernah lagi naik kendaraan umum.”
Ya, itulah nasib. Ada yang membuat orang menjadi lebih kaya. Tapi ada juga yang menyeret orang untuk menjadi lebih miskin.
Kedua, pertemuan dengan seorang teman lama yang kini sudah sama-sama berumur 40-an. Kalau diingat-ingat, saat pertama kali bertemu, kami masih berumur 20-an. Bayangkan, betapa waktu membawa kami kembali duduk di kedai kopi favorit kami dulu, dengan pembicaraan yang sudah berbeda 360 derajat!
Kami mengingat-ingat, dulu kalau ketemuan, yang kami bicarakan adalah “sedang dekat dengan siapa?” atau “akan jalan-jalan ke mana kita liburan nanti?” atau “akan makan di mana lagi kita setelah ini?”
Tapi kali ini berbeda. Kami lebih banyak membicarakan masalah keluarga dan masa tua. Kami berdua rupanya belajar dari anggota keluarga masing-masing yang sudah lebih dahulu menua bahwa masalah yang sama dengan yang mereka hadapi bisa jadi juga akan kami hadapi.
Saya belajar dari ayah dan ibu yang ketika sudah berumur jadi sakit-sakitan dan tidak lagi bisa mandiri. Teman saya belajar bahwa saat seorang saudaranya sudah tidak produktif, maka kesulitan keuanganpun jadi tantangan hidup. Lalu kami berdua berpikir bahwa bagi kami yang tidak berkeluarga ini, butuh kebersamaan dan tolong-menolong untuk bisa menjalani hidup di masa tua dan tercetuslah ide untuk “mati bersama”. Tentu bukan berarti kami akan menghabisi nyawa bersama-sama, tapi lebih ke menghabiskan masa tua bersama dan saling membantu di satu tempat.
Kami lalu tertawa saat pembicaraan itu berakhir dan membayangkan bahwa pembicaraan macam ini tidak pernah terpikirkan saat kami berusia 20-an dulu.
Tapi ada satu pertanyaan pamungkas yang begitu terpatri dalam pikiran saya hingga sekarang, yaitu saat teman saya bertanya: “Apa penyesalan terbesar loe sampai umur segini?”
Dia sendiri menjawab bahwa dia menyesal saat begitu lulus kuliah tidak ikut mengembara dan bekerja di luar negeri bersama teman karibnya yang sekarang sudah tinggal dan berkarir di sana. Dia lalu berandai-andai, jika saja dia dulu begini dan begitu, maka ceritanya tentu akan sangat berbeda dengan cerita yang sedang dia jalani sekarang.
Lalu apa jawaban saya?
Saya mengatakan bahwa penyesalan terbesar saya hingga saat ini adalah bahwa saya tidak jadi menjalani pendidikan di seminari dan menjadi romo.
Setelah mengatakan itu, saya seakan dibawa ke peristiwa di mana saya berpamitan pada Bapak dan Ibu untuk masuk seminari dan mereka walau tidak melarang mengatakan bahwa sebaiknya saya melanjutkan studi dulu, baru setelah pengetahuan saya lebih luas, saya memilih jalan yang saya ingin.
Saya memang baru lulus SMP saat itu dan pandangan mereka bahwa saya sebaiknya meluaskan pengetahuan dulu sebelum memilih jalan hidup saya pikir memang ada benarnya. Setidaknya saat itu.
Namun di kemudian hari saya menyesalkan keputusan itu. Saya menyalahkan keterbatasan informasi yang dulu bisa saya akses. Kalau saja akses informasi sudah secepat dan seterbuka sekarang, bisa jadi keputusan saya akan berbeda dan seperti yang teman saya bilang tadi, jalan cerita yang saya jalani tentu akan sangat berbeda dengan yang saat ini.
Lagi-lagi, akhirnya saya perlu mengatakan (atau bersembunyi dan mencari pembenaran) bahwa nasiblah yang membawa kami atau kita berada di tempat masing-masing saat ini. Tidak pernah ada yang tahu tentang masa depan yang walau sudah direncanakan seperti apapun bisa berubah begitu saja. Kita akhirnya hanya bisa menjalani saat ini. Karena tidak mungkin mengulang masa lalu atau berlari mencoba berada di masa depan.