Antara Alam, Kopi dingin, Orang Orang Bloomington, Kucing Penyelamat Buku, dan Pramoedya
Terus terang saya senang! Minggu ini saya masih punya ide untuk ditulis di blog supaya resolusi saya tidak terlanggar dan lucunya ide-ide ini justru bermunculan karena saya melakukan resolusi yang lain. Jadi secara tidak sengaja resolusi yang kemarin saya canangkan itu rupanya saling berhubungan. Nah, kalau bingung dengan judul tulisan kali ini maka sebenarnya itu terambil dari buku-buku yang berhasil saya baca minggu ini.
Namaku Alam: Jilid 1
Buku ini sebenarnya termasuk dalam daftar “menyudahi yang tersisa” dalam tulisan minggu lalu. Jadi sebenarnya buku ini sudah saya miliki sejak awal terbitnya (20 September 2023), karena saya sudah memesan bahkan sebelum buku ini terbit. Tapi karena kesibukan dan alur buku ini yang terasa agak melantur di pertengahan maka saya berhenti membacanya selama berbulan-bulan. Baru setelah ada waktu di akhir Desember, waktu itu karena sakit, maka saya melanjutkan membaca buku ini.
Tema yang diangkat Leila S. Chudori dalam buku ini sebenarnya cukup sering dia bahas dalam buku-bukunya yang lain yaitu tentang seputar peristiwa kelam tahun 1965. Kali ini dia bercerita tentang anak seorang tapol yang harus hidup dalam tekanan penguasa Orde Baru di tahun 1980-an. Bagaimana sisi psikologis anak ini ketika dia tumbuh kembang dalam bayang-bayang mimpi buruk ayahnya yang diganyang penguasa, bagaimana dia harus menghadapi cibiran masyarakat tentang keluarganya yang tidak “bersih diri, bersih lingkungan”, bagai mana sulitnya dia dan keluarganya untuk bergerak ketika semua aktivitas keluarga tapol selalu dibatasi, itulah yang coba digambarkan oleh Leila dalam buku ini.
Sayangnya, di pertengahan buku, gambaran ini menjadi agak melantur ke mana-mana sehingga mengurasi keasyikan saya dalam membacanya. Tapi ya buku ini kan novel, maka mungkin memang harus ada sisi-sisi menghibur agar tidak jadi buku teks sejarah.
Before the Coffee Gets Cold
Masih dari tumpukan “menyudahi yang tersisa”, buku ini sebenarnya sudah saya kenal jauh sebelum tahun 2020, tapi memang baru saya baca kembali saat orang banyak membicarakannya karena sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Buku ini bercerita tentang sebuah kedai kopi yang bisa membawa pengunjungnya ke masa lalu atau masa depan dengan aneka syarat yang unik. Salah satu syarat yang banyak dipertanyakan oleh pengunjung adalah bahwa apapun yang terjadi, mereka tidak akan bisa mengubah masa lalu maupun masa depan. Jadi buat apa kembali ke masa lalu atau lari ke masa depan?
Buku ini menyisakan sebuah goresan dalam hati saya bahwa setiap orang memiliki waktunya masing-masing. Kadang kita mengenal seseorang di satu waktu, lalu kita menikmati kebersamaan dengan orang itu, namun karena waktu kita bersamanya sudah “habis” maka perpisahan tidak bisa ditolak. Haruskah kita sedih? Ya, bisa saja. Tapi buku ini menawarkan cara lain untuk menghadapi perpisahan. Ia mengajak kita untuk mensyukuri waktu yang sudah kita habiskan bersama orang itu, karena dengan itulah kita menghormati keberadaannya.
Orang Orang Bloomington
Buku ini secara tidak sengaja saya temukan saat mendatangi toko buku penuh kenangan di Mall Kelapa Gading (MKG). Jadi sore itu saya dan Debin jalan-jalan ke Kelapa Gading untuk makan malam, tapi karena masih kesorean maka kami mampir dulu ke MKG. Nah, Gramedia MKG, selain pernah muncul di salah satu adegan film Ada Apa Dengan Cinta (2002), juga adalah tempat penuh kenangan buat saya karena semasa SMU dan awal-awal kuliah saya sangat sering mendatangi tempat ini.
Kembali ke bukunya, Orang Orang Bloomington yang terbit di tahun 1980 konon adalah buku karya Budi Darma yang banyak mendapat pujian di sana-sini, bahkan diterjemahkan dalam bahasa Inggris, lalu diterbitkan oleh Penguin Classic yang dikenal sebagai penerbit buku-buku monumental karya penulis-penulis besar yang karyanya abadi.
Buku ini menceritakan kisah orang-orang yang berada di sekitar kehidupan Budi Darma saat sedang bersekolah di Amerika. Tapi jangan berharap menemukan kisah kehidupan sehari-hari yang “normal” ya. Karena Budi Darma dikenal sebagai seorang surealis, maka buku ini penuh dengan kisah ajaib yang terkadang membuat alis naik-turun.
Menariknya, walau digambarkan dengan cara yang nyentrik, setiap cerita dalam buku ini tetap menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan yang sehari-hari kita rasakan.
Kucing Penyelamat Buku
Terus terang buku ini saya beli karena ilustrasi kucing yang lucu di sampul depannya. Buku karya Sosuke Natsukawa yang baru terbit di Juli 2023 ini melengkapi buku-buku populer Jepang yang akhir-akhir ini tampaknya sedang rajin diterjemahkan oleh Gramedia.
Bukunya bercerita tentang Rintaro Natsuki yang penyendiri. Ia mendadak ditinggal anggota keluarga satu-satunya yang dia kenal yaitu sang kakek yang mewariskan sebuah toko buku kecil. Tadinya Rintaro hendak menutup toko buku ini, menjual semua buku di dalamnya, dan pindah ke kota lain bersama bibi yang tidak pernah dia kenal sebelumnya. Tapi kemudian muncul seekor kucing yang membawanya bertualang menyelamatkan buku-buku.
Buku ini walau tipis tapi penuh dengan kata-kata indah untuk pencinta buku.
Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis
Ini juga buku yang saya beli sesaat setelah diterbitkan kembali oleh Gramedia. Buku ini berada dalam tumpukan dan baru saya pegang lagi di awal 2024.
Buku yang diangkat dari skripsi Eka Kurniawan ini secara garis besar menggambarkan proses tesis, antitesis, dan kemudian sintesis dalam perjalanan karya-karya kepenulisan Pramoedya. Semua hal itu digambarkan tidak terlepas dari pengalaman hidupnya yang merasakan represi dalam tiga zaman yang dilaluinya.
Bagi saya, membaca buku ini mengubah pemahaman saya tentang Pramoedya. Saya serasa mengenalnya dengan lebih dalam dan kemudian bisa lebih memahami karya-karya beliau.