The Charm Offensive
Oscar Wilde said life is far more likely to imitate art than art is to imitate life.
The Charm Offensive, 2021
Tadinya buku “The Charm Offensive” karya Alison Cochrun ini mau saya satukan ulasannya bersama beberapa buku yang saya selesaikan di bulan Januari. Tapi saking bagusnya, saya tidak rela membahasnya hanya dengan sekilas di sana. Jadilah ulasan buku ini saya jadikan tulisan tersendiri sekarang.
Jadi sebenarnya saya sudah memiliki buku ini sejak tahun 2021, bahkan sebelum masuk nominasi “Goodreads Choice Award” tahun itu. Saat itu saya membaca beberapa halaman awal buku ini namun berhenti begitu saja. Mungkin karena saya merasa buku ini terlalu “trashy”, kurang berbobot. Namun ketika beberapa minggu lalu saya terpaksa mengganti bacaan karena buku yang saya beli dalam rangka memenuhi kebutuhan membaca saya rupanya memiliki terjemahan yang buruk, maka sayapun mulai membaca lagi buku ini.
The Charm Offensive bercerita tentang dunia di balik layar sebuah acara pertunjukan realitas (reality show) bertajuk “Ever After”. Nah, dari judul acaranya aja udah ketebak kan bahwa pertunjukan realitas ini pasti berbau-bau perjodohan yang nantinya diakhiri dengan lamaran, perkawinan, dan yang gitu-gitu.
Dari judul acaranyapun sudah terbayang bahwa dalam acara ini akan dipertontonkan seorang pria super ganteng, berbadan atletis, karirnya sempurna, otaknya cemerlang, kaya raya, pokoknya tipikal idaman semua mahluk deh. Lalu ada sederet perempuan yang rela melakukan berbagai tantangan, bahkan untuk saling berkelahi, demi mendapatkan sang pria idaman. Intinya acara ini penuh dengan drama!
Kebayang lah ya kenapa beberapa tahun lalu saya berhenti membaca buku ini!
Bintang tamu acara “Ever After” musim keenam adalah seorang anak muda jenius di bidang IT, yang berhasil mendirikan perusahaan rintisan bersama teman kuliahnya, berbadan sempurna bak dewa Yunani, bernama Charlie Winshaw. Layaknya anak IT, Charlie rupanya digambarkan sebagai pribadi yang canggung, tidak suka berada di tengah orang banyak, apalagi menjadi pusat perhatian. Diapun gagal dalam hari-hari pertama syuting acara ini karena kecanggungannya itu. Saat krisis ini terjadi, ditunjuklah Dev Deshpande untuk membantu Charlie membentuk kepribadian yang diinginkan oleh acara “Ever After”.
Dev Deshpande sendiri adalah produser acara ini sejak awal musim. Dia bisa jadi adalah produser paling sukses membentuk karakter yang diinginkan oleh penonton acara ini karena dia sendiri percaya pada dongeng-dongeng bahwa cinta itu akan selalu berakhir bahagia selamanya. Dia selalu berusaha mengejar itu dan mencurahkan seluruh harinya untuk membentuk cinta yang dia percaya melalui acara “Ever After”. Namun tentu saja, dalam kehidupan sehari-hari cinta tidaklah seindah di dalam dongeng. Dev sendiri baru saja putus dari rekan kerjanya di acara yang sama, Ryan, beberapa bulan sebelum musim keenam ini dimulai dan masih menata hatinya untuk menjadi baik-baik saja.
Stop chasing some else’s idea of love.
Cerita mulai menarik ketika dalam perjalanan syuting acaranya yang menuntut Charlie dan Dev selalu bersama, berkeliling dunia, termasuk ke Bali (ya, buku ini “ada Indonesianya!”) mereka berdua kemudian saling belajar akan diri masing-masing dan apa itu makna cinta dalam kehidupan nyata.
Buku ini bukan sembarang novel apalagi novel murahan seperti yang saya kira saat pertama kali membacanya. Justru dengan jalan cerita yang sangat mudah dicerna, buku ini mampu menunjukkan bahwa setiap orang berhak atas cinta dan tidak semua orang memiliki cara seragam untuk mengekspresikan cinta. Dalam sebuah pembicaraan dengan mantannya, Dev mendapati bahwa selama ini dia salah menyangka bahwa mantan pacarnya tidak pernah perhatian padanya. Ryan, mantan pacar Dev berkata: “Just because I don’t want to uphold the capitalist, heteronormative structures of matrimony and procreation does not mean I didn’t love you. Is that what you really think? Of course I love you. We were together for six years. I know I couldn’t love the way you wanted to be loved,but in my defense, the kind of love you want doesn’t exist without a team of producers, a ton of editing, and a really good soundtrack.”
Ya, kadang kita memimpikan cinta seperti di film-film (ini pernah saya bahas dalam podcast saya) bahkan menginginkannya di dunia nyata. Kita lupa bahwa dalam kehidupan nyata kita berhadapan dengan orang yang tidak bernaskah, memiliki kehendak bebas, dan punya cara masing-masing dalam mencintai. Kita tentu tidak bisa memaksa orang untuk mencintai apalagi menuntutnya untuk mencintai dengan cara yang kita inginkan.
Bukan hanya itu, buku ini juga dengan bahasa yang mudah dicerna menjelaskan bahwa manusia sangat beragam apalagi dalam pilihan seksualitasnya dan ini sepatutnya kita hargai sebagai keragaman.
Intinya saya memberi penilaian 4/5 bintang untuk buku ini!