Kepergian
Pernah kehilangan teman belasan tahun yang lalu mendadak muncul begitu saja? Saya atau kami, karena ini adalah hasil obrolan dengan beberapa teman, pernah. Apakah kami menghujatnya? Itu cerita lain.
Jadi ceritanya sore itu saya dan teman-teman sedang duduk santai menikmati hujan di kota Jakarta sambil menyeruput minuman hangat. Saya memilih kopi, sedangkan beberapa teman saya memilih wedang jahe. Didampingi minuman yang masih mengeluarkan kepulnya, pembicaraan bertema pertemanan yang hilangpun ikut menghangatkan suasana. Intinya kami semua pernah merasakan ditinggal pergi oleh orang, entah itu teman, atau sahabat, atau bahkan pacar, secara mendadak. Lalu apa yang terjadi? Ya sudah, ada yang memilih untuk mengejar namun tak juga tertangkap. Ada yang memilih untuk menangisi dan berusaha melupakan orang yang hilang itu. Tapi menariknya ada juga yang memilih untuk diam dan membiarkan saja orang itu menghilang karena toh di dalam prinsipnya, orang itu akan kembali lagi dengan sendirinya.
Mendengar kata-kata teman saya itu, saya langsung teringat pada sebuah lagu berjudul “Andaikan Kau Datang” yang dinyanyikan oleh Koes Plus pertama kali di tahun 1970. Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh teman saya itu ketika orang yang mendadak menghilang sekian lama datang kembali?
Teman saya lalu melanjutkan cerita tentang prinsipnya. Dia bilang bahwa bukan hanya sekali dia kehilangan teman. Sudah berkali-kali dan sama dengan prinsipnya tadi, dia hanya diam. Namun dia melanjutkan bahwa diamnya dia bukanlah diam biasa saja. Dia diam dengan sebuah tujuan yaitu membiarkan teman-temannya yang hilang mencari dunianya masing-masing. Mencari jati dirinya masing-masing. Mencobai pertemanan di tempat-tempat lain yang tidak bisa digapainya bila mereka tetap berada di samping teman saya ini. Wah, makin menarik saja filosofi teman saya ini. Jangan-jangan dia terlalu tercuci otak oleh lagi Chrisye “Pergilah kasih” nih.
Saya lalu bertanya, apakah benar teman-temannya yang hilang itu kembali? Dia jawab: “Ya!”
“Lalu, jawaban apa yang kau beri?” Tanya saya sambil meniru lirik lagu Koes Plus tadi yang disertai derai tawa teman-teman lain.
“Ya, jawab saja apa yang mereka mau. Kalau mereka minta maaf, ya saya maafkan. Kalau mereka misuh-misuh, ya saya iyakan. Dan kalau mereka berharap untuk bisa berteman lagi, ya saya terima. Gampang kan?”
Ringan sekali ya teman saya ini. Segitu gampangnyakah menerima orang yang mendadak hilang untuk kembali dalam kehidupan kita? Segitu mudahnyakah mengikhlaskan orang pergi begitu saja, tanpa kabar berita, lalu mendadak kembali lagi?
Teman saya ini lalu melanjutkan filosofinya. Dia bilang bahwa perubahan adalah sebuah kesunyataan, “sunnatullah” katanya. Apapun yang terbentuk di dunia ini pasti akan berubah. Jadi adalah sebuah hil yang mustahal (meniru dagelan Srimulat, yang maksudnya adalah hal yang mustahil) kalau kita mengharap seseorang tidak berubah, begitu juga sebuah hubungan antar manusia. Makanya, menurut dia hubungan yang sehat adalah hubungan yang bertumbuh. Bukan hubungan yang berharap semuanya selalu sama. Dan dalam hubungan yang bertumbuh, orang harus membiarkan orang lain untuk berkembang, menjadi dirinya sendiri, mencari jalannya sendiri.
Wah…wah…makin berat saja obrolan kami. Tapi bagaimanapun saya setuju sih dengan pemikiran teman saya itu. Mungkin memang ada baiknya dalam hubungan dengan orang lain kita tidak menggenggam orang itu kencang-kencang karena selain akan menyesakkannya juga akan membuatnya lepas dari tangan kita bak pasir yang selalu mencari jalan keluar ketika kita menguatkan genggaman tangan.
Ada baiknya menerapkan prinsip tangan yang terbuka seperti teman saya tadi. Terbuka saat orang butuh untuk mencari jalannya sendiri dan terbuka pula untuk memeluk saat orang itu datang kembali dan membutuhkan pelukan seorang sahabat.
Jadi perlukah saya tutup tulisan ini dengan lirik lagunya Denny Caknan yang sudah “nuruti kekarepanmu” (menuruti segala keinginanmu) dan malah “sansoyo bubrah” (makin hancur) sampai saat akhirnya kekasihnya pergi merasa “ambruk cagakku nuruti angen-angenmu” (rubuh kekuatanku setelah mengikuti keinginanku) dan akhirnya bilang “budalo malah tak duduhi dalane, metu kono belok kiri terus wae. Rasah nyawang sepionmu sing marai ati tambah mbebani” (pergilah, malah akan aku tunjukkan jalannya, lewat sana, belok kiri, lalu lurus saja. Tidak usah melihat lagi ke belakang yang malah akan menambah beban di hati).
Lagi pula almarhum Didi Kempot kan juga pernah berpesan agar sakit hati itu tak perlu ditangisi, tapi lebih baik dijogeti!