Ke Jogja (lagi) – Bagian 1

Ke Jogja (lagi) – Bagian 1

Ini adalah hari pertama saya di Yogyakarta. Setelah perjalanan 10 jam dari Jakarta menggunakan bus sleeper, akhirnya kami sampai dan sambil menunggu jam check-in di hotel, kamipun berjalan-jalan keliling kota.

Soto Mbah Tirto

Ini juaranya soto sih buat kami berdua! Letaknya yang hanya diketahui oleh masyarakat lokal membuat soto ini murah-meriah dengan suasana yang asli tanpa “gincu” untuk wisatawan. Kami menemukan warung soto kecil ini secara tidak sengaja pada tahun 2020 dan sampai saat ini masih menjadi warung soto favorit kalau kami berkunjung ke Yogyakarta.

Pagi ini, sehari sebelum bulan Ramadan, warung soto Mbah Tirto penuh pengunjung. Untung kami berdua masih kebagian tempat duduk dan tanpa diminta dua mangkuk soto hangat, dengan uap yang mengepul, merangsang indera pencium untuk menyiapkan perut, tersedia di meja kami.

Wah, kuah soto Mbah Tirto memang luar biasa. Ringan tapi kaldu dan bumbunya terasa banget! Campuran daging sapinyapun terasa empuk tanpa menjadi kering karena proses memasak yang lama.

Yang tidak kalah menarik adalah aneka gorengan dan sate yang bisa diambil sendiri sesuai keinginan. Perpaduan semuanya membuat soto Mbak Tirto membuka hari kami dengan bahagia.

Kasongan

Kawasan Kasongan terletak di kecamatan Kasihan, kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya yang hanya 7 km dari pusat kota (Malioboro) membuat desa yang terkenal dengan gerabahnya ini menjadi tujuan pertama kami untuk menghabiskan waktu.

Tiba di Kasongan sekitar jam 9 pagi, kami disambut oleh suasana yang sepi dan menenangkan. Banyak toko yang sudah buka, namun karena belum banyak pengunjung maka kami bisa dengan leluasa melihat-lihat dengan detail produk gerabah yang dijajakan.

Kasongan sebenarnya mengingatkan saya pada perjalanan ke Plered di Purwakarta, Jawa Barat. Di Plered, sama seperti di Kasongan, gerabah dijajakan di pinggir-pinggir jalan dengan deretan toko sebagai pilihan. Yang agak berbeda adalah, di Kasongan, tidak terlalu banyak debu yang menumpuk di produk yang dijajakan. Mungkin karena jalanan di Kasongan tidak sesibuk Plered yang dilintasi oleh truk besar sehingga debupun beterbangan ke mana-mana.

Setelah 4 tahun tidak ke Yogyakarta akhirnya tahun ini kami berkesempatan untuk mengunjungi kota ini lagi. Dengan misi yang berbeda, kami menemukan sisi lain dari kota ini dan kota-kota di sekitarnya.

Di Kasongan, kami jatuh cinta pada produk celengen berbentuk pasangan laki-laki dan perempuan berbadan gemuk. Saat tahu harganya dari sang penjual, kami tak berani menawar karena menurut kami harga itu sudah terlalu murah. Kamipun segera membayar dengan senang hati dan melanjutkan perjalanan.

Pasar Beringharjo

Ini adalah pasar yang tidak pernah kami lewatkan untuk dikunjungi saat jalan-jalan ke Yogyakarta. Meskipun kami sebenarnya berusaha menghindar dari tempat-tempat wisata penuh wisatawan lokal, tapi rupanya magnet Beringharjo tak bisa kami tolak.

Siang itu pasar Beringharjo cukup padat. Maklum, libur panjang Nyepi yang dilanjutkan dengan cuti bersama, rupanya dimanfaatkan oleh banyak orang untuk berjalan-jalan bersama keluarga. Saya dan Debinpun langsung menuju bagian belakang pasar ini untuk mencari Wedang Uwuh yang beberapa tahun lalu sempat membuat kami terpesona dengan rasanya.

Selanjutnya kami menuju ke bagian kain batik yang berada di los nomor 1. Di sini saya mendapat selembar kain batik dengan harga murah dan ini menambah kuat magnet Beringharjo.

Malioboro

Nggak ke Jogja kalau nggak ke Malioboro kayaknya ya. Lokasi yang selalu padat wisatawan ini kami kunjungi hanya untuk membuang waktu karena jam check-in belum juga tiba. Bagi kami Malioboro sih membosankan, padat, dan gitu-gitu aja. Kami hanya penasaran dengan penataan kawasan Malioboro yang baru dan setelah melihatnya ya sudah, kamipun segera kembali ke mobil untuk lanjut check-in di hotel.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *