Lebaran

Lebaran

Nggak terasa sudah lebaran lagi. Kali ini konon di tahun 1445 Hijriah. Mumpung masih dalam suasana lebaran, saya minta maaf karena absen menulis selama tiga pekan terakhir. Seperti biasa, setelah perjalanan jauh, ada lelah yang harus saya obati sebelum kembali menulis di blog ini. (Kalimat terakhir jelas hanya pembelaan aja sih).

Ngomong-ngomong lebaran, sebenarnya buat saya yang tidak punya keluarga, lebaran adalah momen yang janggal. Tidak seperti banyak orang lain yang pulang kampung demi bertemu orang tua dan sanak-saudara, saya ini pertama: tidak punya kampung halaman karena bahkan sejak lahir saya sudah tidak berada di tanah sendiri alias lahir di wilayah terpencil tempat ayah saya yang waktu itu mengabdi untuk negara sedang ditugaskan. Kedua, saya tidak punya orang tua lagi, begitu juga adik dan kakak. Jadi ya frasa “sebatang kara” benar-benar cocok menyemat di tubuh saya. Kebayang dong momen “kumpul keluarga” tuh maknanya apa buat saya?

Eh, ngomong-ngomong masalah keluarga nih, saya jadi teringat obrolan dengan seorang teman beberapa minggu lalu. Dia bercerita tentang kebingungannya saat mau hadir di sebuah acara keluarga. Bukan acara keluarga yang resmi seperti pernikahan sih, cuma acara ulang tahun saja. Saat itu dia bingung karena dilarang membawa pacarnya. Alasannya: ini adalah acara keluarga. Dia lalu bertanya-tanya, sebenarnya siapa sih yang dianggap keluarga? Apakah mereka yang punya garis darah langsung? Lalu bagaimana dengan mereka yang membawa suami atau istri? Mereka kan tidak punya hubungan darah?

Saat mau menjawab pertanyaan teman saya itu, saya langsung teringat pada kata-kata seorang guru saya. Dia bilang, manusia adalah homo festivus alias mahluk festival. Dia lalu menjelaskan bahwa bahkan sejak sebelum dilahirkan, seperangkat festival sudah dilakukan untuk seorang manusia. Begitu juga nanti ketika sudah meninggal. Mulai dari nujuh bulanan, salapanan, turun tanah, tanam ari-ari, sampai ke sunatan, baptis, ulang tahun, wisuda, pernikahan, 3 harian, 7 harian, dan lain sebagainya. Semua adalah festival.

Lalu apa dong maknanya festival dalam hidup manusia? Menurut saya sih salah satu maknanya adalah menjadi tonggak akan terlewatinya sesuatu dan dimulainya sesuatu yang lain. Semacam “every new beginning comes from some other beginning’s end” kalau kata Seneca. Jadi misal festival yang namanya “nujuh bulan” alias upacara tujuh bulan mengandung. Ini menandakan sebuah akhir dari mengandung selama 6 bulan dan awal dari mengandung di bulan ke-7. Iya, sesimpel itu sebenarnya makna festival dalam hidup manusia.

Nah kembali ke masalah siapa yang dianggap “keluarga” tadi. Bagi saya yang bertahun-tahun hidup di perantauan, sendirian pula, maka “keluarga” adalah orang-orang baik yang ada di sekitar saya. Mereka adalah orang-orang yang ada di saat saya membutuhkan. Mereka adalah orang-orang yang menolong saya baik secara langsung maupun tidak langsung untuk bisa berada di sini dan di saat ini. Apakah mereka harus punya hubungan darah langsung dengan saya? Tentu tidak! Apakah mereka harus melalui “festival” perkawinan untuk bisa dianggap keluarga? Tentu tidak! Karena buat saya, hubungan darah dan perkawinan bukanlah jaminan seseorang mempunyai sifat “keluarga”. Saya sering kok mendengar banyak orang yang punya hubungan darah langsung, malah saling bunuh hanya karena masalah harta. Tidak kalah banyak pula orang yang mempunyai hubungan perkawinan lalu malah menjadi benalu dan menyedot habis bahkan menipu pasangan bahkan keluarga pasangannya.

Ah, saya kok jadi melantur ke mana-mana ya. Ini kan sedang suasana lebaran. Minta maaf dan memaafkan adalah kata kunci festival ini. Jadi ya, semoga saja teman saya itu bisa memaafkan saudaranya yang picik dalam melihat makna kata “keluarga”. Semoga saja dia legowo menerima kenyataan bahwa memang tidak semua orang diberi otak yang cukup untuk berpikir terbuka. Semoga.

Mohon maaf lahir dan batin ya, Lur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *