Kita Sedang Hidup di Dunia yang Aneh
Beberapa hari lalu seorang komedian menyadarkan bahwa saya tidak sendirian. Dunia ini memang sedang aneh dan saya sedang tinggal di dalamnya.
Sang komedian membuka acara dengan pernyataan bahwa ketika disuruh memilih antara seorang penegak hukum atau seorang penjahat untuk memimpin sebuah negara, maka mayoritas (lebih dari 50%) orang di negaranya memilih sang penjahat sebagai pemimpin. Dia tentu saja keheranan dan lalu dengan mata berkaca-kaca mengatakan bahwa pilihan itu adalah pilihan yang buruk untuk perempuan, anak-anak, jutaan pekerja migran yang bekerja keras untuk memajukan negaranya, layanan kesehatan, isu pemanasan global, ilmu pengetahuan, jurnalisme, keadilan, kebebasan berbicara, orang miskin, kelas menengah, warga senior, Ukraina, NATO, kebenaran, demokrasi, etika, semua orang yang tidak memilih sang penjahat, bahkan untuk orang yang memilih sang penjahat hanya saja mereka belum menyadarinya.
“Tapi itulah demokrasi,” katanya lagi. Kalau kata Barack Obama, hidup dalam demokrasi artinya memahami bahwa cara pandang kita tidak selalu dapat diterima orang lain dan karena itu harus bisa menerima serta menyerahkan kekuasaan secara damai.
Saya terhenyak mendengar pernyataan sang komedian. Jarak antara negaranya dengan tempat saya berada terbentang lebih dari 15 ribu kilometer. Usia kemerdekaan negaranya dengan negara tempat saya berada selisihnya 1,5 abad lebih. Tapi kok apa yang dia katakan sangat relevan dengan apa yang terjadi di sini ya? Apa benar yang dikatakan dalam buku “How Democracies Die” (2018), yang saat kampanye presiden kemarin sempat viral karena terlihat dibaca oleh salah seorang kandidat, sedang menggelombang dan memengaruhi banyak negara yang konon adalah negara demokrasi di dunia ini?
Tapi lagi-lagi, itulah demokrasi. Demokrasi konon adalah solusi dari perang untuk memperebutkan kekuasaan. Kandidat pemimpin dalam demokrasi tidak harus beradu otot tapi beradu otak. Namun yang sering dilupakan adalah bagaimana dengan para pemilihnya? Apakah otak para pemilih memang siap untuk diadu dengan logika-logika dan pemikiran rumit dalam menyelesaikan banyak masalah negara? Atau justru banyak orang lebih memilih solusi-solusi sesaat, singkat, dan populis?
Siang itu, dalam obrolan dengan seorang teman warga negara Amerika, kami bersepakat bahwa dunia memang sedang aneh tapi apapun yang terjadi hidup harus terus berjalan. Ada banyak hal yang perlu “dicuekin” aja, tapi ada juga hal-hal yang perlu dilawan dengan kemampuan masing-masing.
Kita sedang hidup di dunia yang aneh.