Gara-gara pertemanan di sebuah media sosial bernama Threads saya jadi terpapar pada buku berjudul Babel karangan R.F. Kuang. Dari judulnya, buku ini mengingatkan saya pada kisah tentang menara Babel. Sebuah kisah yang menceritakan bagaimana manusia jadi tercerai-berai akibat komunikasi yang putus karena bahasa yang tadinya konon adalah tunggal mendadak jadi begitu banyak dan beragam. Dan ya memang buku ini tidak jauh-jauh dari kisah tentang bahasa-bahasa di dunia.
Buku ini dibuka dengan adegan penyelamatan seorang anak dari sebuah pandemi mematikan di Kanton, Tiongkok. Karena tidak ada lagi keluarga yang selamat dari pandemi itu, maka sang anak yang sebatang kara dirawat dan dibawa oleh seorang profesor bernama Richard Lovell ke London. Uniknya, si anak walaupun tidak pernah sekalipun keluar dari Kanton, begitu fasih berbahasa Inggris, selain tentu saja berbahasa ibu, bahasa Cina. Ini semua berkat seorang asisten rumah tangga asal Inggris yang secara misterius selalu mengikuti keluarga sang anak dan menjadi pengasuhnya.
Dalam perjalanannya, si anak yang kemudian diharuskan memiliki nama baru, nama “Barat”, yaitu Robin Swift, dididik dengan sangat disiplin oleh sang profesor. Pendidikan itu diutamakan pada pendidikan bahasa yang kemudian membawa Robin bisa belajar di Oxford.
Di Oxford Robin bertemu dengan tiga orang teman dengan latar belakang yang sangat unik. Mereka adalah Ramy, berasal dari Kalkuta dan adalah seorang muslim, Victorie, berasal dari Haiti dan berkulit hitam, serta Letty, seorang anak jendral, orang Inggris berkulit putih, namun tidak pernah mendapat pengakuan dari ayahnya karena ayahnya selalu merasa bahwa yang seharusnya mengenyam pendidikan di Oxford adalah bukan Letty, melainkan kakak laki-lakinya. Mereka bertiga kemudian menjadi sahabat yang akrab dalam perjalanan berkuliah di Oxford.
Hal lain yang membuat persahabatan Robin dan ketiga temannya jadi makin kuat adalah karena Oxford kala itu bukanlah tempat yang nyaman bagi ras di luar ras Kaukasia. Mereka yang dari ras-ras berbeda seringkali mendapatkan perlakuan diskriminatif. Jangankan di kampus, di kafe-kafe dan tokopun mereka selalu dipandang sebelah mata. Namun rupanya bukan hanya ras yang jadi bahan untuk mendiskriminasi seseorang, jenis kelaminpun jadi bahan untuk itu.
Masalah mulai timbul ketika tanpa sengaja Robin memergoki sekelompok pencuri yang baru keluar dari gedung kampus. Saat itu, bukannya berusaha untuk menangkap para pencuri, dia malah menyelamatkan mereka dari kejaran polisi. Sejak itu Robin berkontak dengan “pemimpin” kelompok pencuri yang bernama Griffin.
Dari Griffin, Robin jadi tahu bahwa sebenarnya ada banyak orang di luar sana yang dengan idealismenya berusaha untuk meruntuhkan Babel, pusat bahasa milik kerajaan Inggris, tempat Robin dan kawan-kawannya belajar selama ini. Ia juga disadarkan bahwa Babel adalah pusat penindasan Inggris atas bangsa-bangsa lain di dunia. Robin jadi tersadar bahwa bukan tanpa alasan Babel mengumpulkan orang-orang seperti dirinya dan teman-temannya. Mereka rupanya dibawa ke Babel untuk diserap bahasa ibunya dan lalu dipakai untuk menerjemahkan ilmu-ilmu dari bangsa lain yang kemudian dipakai sebagai senjata yang akhirnya bisa memperkaya Inggris.
Sejak itu hidup Robin jadi tidak tenang. Ada pertetangan dalam dirinya. Di satu sisi dia sangat senang belajar dan bersekolah di Oxford. Dia juga bercita-cita untuk bekerja di Babel dan hidup kaya-raya. Namun di sisi lain diapun berpikir bahwa penindasan Inggris atas bangsa-bangsa lain tidaklah semestinya terjadi. Dia kemudian memikirkan nasib orang-orang di negeri tempatnya berasal dan kemiskinan yang ada di sana karena penipuan yang dilakukan Inggris dalam perdagangan.
Sampai di sini rasanya saya harus berhenti. Karena kalau tidak, bisa-bisa tulisan ini akan menjadi beberan (spoiler) bagi yang belum membaca buku ini.
Nah, bagi saya buku ini adalah seperti Harry Potter bertemu The Da Vinci Code. Jadi di dalamnya ada hal-hal fantasi model sihir-menyihir tapi ada juga nilai-nilai sejarah dan ilmu pengetahuan tentang bahasa terutama asal-usul kata alias etimologi.
Bagi orang yang suka bergelut dengan bahasa apalagi menyenangi etimologi seperti saya maka buku ini sangatlah asyik untuk dibaca. Walaupun fiksi, banyak ilmu baru yang saya dapat dari membaca buku ini.
Buku ini juga akan jadi buku yang punya nilai menarik plus plus bagi mereka yang pernah atau sedang belajar atau bahkan fasih berbahasa Cina karena Kuang sering mengungkap asal-muasal kata atau karakter dalam bahasa Cina. Bukan hanya itu, ada juga beberapa “candaan” yang bersifat rasisme yang mungkin hanya bisa diketahui orang mereka yang tahu bahasa Cina.
Buat saya buku ini layak mendapat nilai 4 dari 5.