Slow living menjadi gerakan yang menggejala di dunia. Banyak orang yang mulai melakukan cara hidup ini karena menganggapnya jauh lebih sehat baik bagi fisik maupun mental mereka.
Gerakan yang konon dimulai dengan sebuah pemikiran tentang “slow food” yang digagas oleh Carlo Petrini ini kemudian dianggap sebagai antidot dari berbagai masalah yang timbul akibat dunia yang terobsesi pada kecepatan yang terjadi sejak era revolusi industri.
Benarkah demikian? Apa filosofi dasar slow living? Apa sebenarnya prinsip-prinsipnya? Bagaimana bila ingin menerapkan prinsip-prinsip slow living dalam kehidupan manusia di zaman modern ini? Apakah memungkinkan?
Inilah yang coba saya jawab dengan cara menuliskan kembali hasil dari pembacaan mendalam sebuah buku karya Carl Honore berjudul In Praise of Slow (2004), yang sering dianggap sebagai kitab untuk memahami prinsip-prinsip Slow.
Tulisan ini akan saya bagi menjadi beberapa bagian karena hasil baca mendalam ini memang menghasilkan berlembar-lembar catatan yang mungkin diperlukan bagi mereka yang hendak mencicipi filosofi Slow.
Dan ini adalah bagian pertamanya.
Pendahuluan: The Age of Rage
Pada bagian pendahuluan, Carl Honore menerangkan apa pentingnya buku ini untuk dunia yang semakin hari semakin tergila-gila pada kecepatan. Ia menerangkan bahwa ketergila-gilaan dunia ini pada kecepatan membuat bukan hanya manusia yang rusak tapi juga alam semesta.
Dalam dunia yang semakin cepat, manusia kehilangan makna akan kehidupan itu sendiri. Ia selalu dikejar-kejar waktu dan akhirnya tidak bisa menikmati hidup.
Carl Honore mengatakan bahwa buku ini bukan sebuah deklarasi perang pada kecepatan karena bagaimanapun kecepatan itu membantu hidup manusia. Misalnya, internet dan pesawat terbang yang mampu mempersingkat waktu komunikasi dan perjalanan. Namun yang ia tekankan adalah obsesi akan segalanya harus serba cepat. Misalnya: orang cenderung tidak sempat baca buku, maka mereka baca ringkasan saja. Tidak sempat diet dan mengatur pola makan yang baik maka sedot lemak atau minum obat-obat pelangsing saja. Tidak sempat memasak makanan sendiri maka makan junk food saja. Itu jelas merusak kehidupan manusia.
Carl Honore kemudian mencoba mencari akar dari obsesi akan kecepatan dan dia memberi kesimpulan bahwa semua ini berakar dari ekonomi. Dimulai dari kapitalisme modern yang bisa membuat orang jadi super kaya dengan ongkos yang juga super besar karena alam menjadi rusak akibat manusia mengeruk lebih banyak dan lebih cepat daripada apa yang secara alami terjadi di alam. Misalnya penebangan pohon-pohon yang berakibat ribuan hektar hutan gundul. Ini jelas tidak sesuai dengan keadaan alami di alam yang butuh waktu untuk menumbuhkan tiap batang pohonnya. Secara tidak sadar, saat ini manusia hidup untuk melayani ekonomi dan bukan sebaliknya. Apapun dilakukan demi ekonomi bahkan dengan mengorbankan diri sendiri dan alam yang sebenarnya adalah utang kita kepada generasi mendatang.
Di sisi lain, obsesi pada kecepatan juga berdampak pada kesehatan manusia. Dari tahun ke tahun banyak studi menampilkan data makin banyak manusia yang mengalami stres berat yang menimbulkan insomnia, migrain, hipertensi, dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pencernaan. Obsesi ini tentu berpengaruh juga pada kesehatan mental manusia.
Di Jepang, dikenal istilah “karoshi” yang artinya adalah kematian akibat terlalu banyak bekerja. Karena dikejar untuk lebih cepat dan produktif, manusia jadi tidak sempat berolah raga. Tak jarang untuk bisa menjaga stamina, maka alkohol dan obat-obatan terlarang menjadi pelarian. Begitu juga junk food. Ini menimbulkan masalah lain yaitu obesitas. Jelas ini kemudian kembali memengaruhi kesehatan manusia.
Belum lagi tuntutan untuk serba cepat membuat manusia jadi kurang tidur dan selain berdampak buruk bagi dirinya sendiri, ini juga membahayakan bagi orang lain. Di banyak negara, kecelakaan lalu-lintas meningkat dan salah satu penyebabnya adalah kurang tidur serta kelelahan.
Lebih jauh Carla Honore juga menyatakan bahwa hidup dengan obsesi segalanya harus cepat membuat manusia kehilangan kedalaman akan makna. Manusia akhirnya hanya bisa melihat hal-hal di permukaan saja. Mereka mulai kehilangan kemampuan untuk membuat hubungan yang mendalam dan bermakna dengan orang-orang di sekitarnya. Ini menimbulkan kerenggangan hubungan dengan sesama anggota keluarga, kehilangan teman, juga pada anak-anak, mereka pulang ke rumah dalam keadaan kosong karena orang tua selalu sibuk. Ini menyebabkan mereka tidak bisa menceritakan masalah, pencapaian, bahkan ketakutan-ketakutan yang mereka hadapi.
Bukan hanya itu, anak-anak yang dipaksa untuk hidup dengan kecepatan tinggi akan kehilangan waktunya sebagai anak di mana mereka seharusnya bermain dengan teman-teman, mengeksplorasi dunia dengan cara mereka sendiri, serta menikmati masa-masa yang tidak akan pernah kembali lagi. Ini kemudian menimbulkan masalah pada anak seperti stres, insomnia, dan gangguan psikologis lain yang karena ini terjadi pada anak maka dampaknya bisa lebih buruk daripada kalau terjadi pada orang dewasa.
Manusia modern yang serba cepat kemudian terjebak dalam “boredom” atau kebosanan. Sebuah kata yang konon 150 tahun lalu hampir tidak pernah terdengar. Manusia zaman sekarang saat semua stimulinya dihilangkan langsung panik dan bingung. Mereka lalu sibuk mencari pelarian dari kebosanan karena memang tidak terbiasa untuk melambankan stimuli. Mereka kehilangan cara untuk beristirahat.
Menjawab semua masalah di atas, mulai muncul gerakan untuk hidup yang lebih bermakna dengan memperlambat hidup (slow living). Ini bukan berarti hidup dengan bermalas-malasan, karena pada kenyataannya justru mereka yang menerapkan prinsip Slow (saya sengaja menuliskannya dengan huruf besar agak tampak bahwa ini adalah nama gerakan, bukan sekadar kata yang berarti lambat) bisa bekerja lebih cepat daripada mereka yang selalu terburu-buru.
Buku ini akan mengungkap tentang bagaimana melakukan pekerjaan dalam prinsip Slow yang justru dapat menyelesaikan segala sesuatu dengan lebih cepat. Juga bagaimana prinsip Slow akan membuat orang menjadi lebih tenang ketika dihadapkan dengan tuntutan pekerjaan yang padat. Lebih jauh, prinsip-prinsip Slow akan membuat orang menjadi lebih baik di zaman yang serba cepat tanpa membuatnya meninggalkan peralatan modern dan kembali ke zaman batu. Karena sesungguhnya, inti dari prinsip Slow adalah pada keseimbangan.
Dengan prinsip keseimbangan, kita diajak untuk menyadari kapan kita harus cepat ketika diperlukan untuk cepat dan kapan harus lambat ketika memang sesuatu itu harus lambat. Karena seperti halnya musik yang harus selalu mengikuti tempo yang tepat untuk menimbulkan kenikmatan maka begitu pulalah kehidupan. Ini kemudian pada tingkat yang lebih tinggi disebut sebagai mindfulness. Sebuah sikap penuh kesadaran akan apapun yang sedang dan akan kita kerjakan.