Jadi gini, di akhir tahun 2024 seorang teman mengirimkan sebuah tautan tentang “brain rot” atau yang saya terjemahkan secara bebas menjadi pembusukan otak. Nah, salah satu yang dianggap menjadi penyebab pembusukan otak adalah gawai yang dalam keseharian bukan lagi menjadi alat penunjang kegiatan tapi sudah menjadi alat yang membuat kecanduan dan ketergantungan sehingga tanpanya orang akan menjadi tidak berdaya. Ini tentu tidak terlepas dari aplikasi-aplikasi di gawai yang didominasi oleh media sosial.
Bayangkan, berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk melihat konten-konten di media sosial? Atau jangan-jangan mayoritas penggunaan gawai kita adalah untuk menikmati konten media sosial? Trus apakah otak kita sudah mulai membusuk?
Mindless Scrolling
Dari situ, saya mulai berkenalan dengan istilah “mindless scrolling”. Apa sih mindless scrolling? Mindless scrolling atau yang dikenal juga sebagai zombie scrolling adalah kegiatan menelusuri atau menggulir layar ponsel/laptop secara terus menerus ketika membuka media sosial. Lalu kenapa disebut mindless? Ya karena kegiatan ini memang dilakukan tanpa tujuan yang jelas dan lama-lama berjalan begitu saja tanpa sadar. Kita hanya menjadi korban dari alogaritma yang semakin pintar akibat pencatatan atas apa yang menjadi kesukaan dan kebiasaan kita.
Saya lalu berpikir, berapa banyak waktu yang saya habiskan untuk mindless scrolling ini? Kadang dalam perjalanan berangkat ke kantor saya membuka gawai dan mulai melakukan mindless scrolling sampai tidak terasa perjalanan 1,5 jam telah saya lewati tanpa hal yang benar-benar berguna. Begitu juga dalam perjalanan pulang kantor. Nanti sebelum tidur, sayapun melakukan hal yang sama. Di kasur, saat lampu kamar sudah temaram, saya mulai membuka-buka aneka media sosial, mulai dari X sampai ke Instagram. Bukan hanya melihat atau membaca foto dan tulisan teman-teman, sayapun membaca dan melihat-lihat foto dan video pendek dari orang-orang yang tidak saya kenal. Tiba-tiba tanpa terasa 1 jam terlewati. Lagi-lagi tanpa hal berbobot. Hanya sekadar menggulirkan layar gawai, mengikuti alogaritma yang disajikan untuk saya lahap. Dan herannya, beberapa konten dari orang yang tidak saya kenal saya percaya begitu saja. Misal ketika orang yang tidak saya kenal dan tidak tahu latar belakangnya menyarankan sebuah tempat makan. Saya bisa begitu saja percaya dan membuat rencana untuk mendatanginya.
Kalau dipikir-pikir begitu, kok ngeri ya! Saya benar-benar merasa bukan lagi memakai gawai sebagai penunjang pekerjaan yang positif. Saya benar-benar merasa kecanduan gawai dan parahnya gawai telah membuat saya melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak saya pikirkan sebelumnya. Misalnya ya pergi ke sebuah tempat makan atau membeli barang tertentu yang sebenarnya kalau tidak saya lihat di media sosial itu ya tidak saya datangi atau saya beli.
Saya jadi teringat tulisan seorang teman yang sama-sama senang menulis blog belasan tahun lalu. Dia pernah menulis permintaan maaf di blognya karena dia jadi jarang menulis di sana dan menyalahkan media sosial atau yang kemudian dikenal sebagai micro blog. Sayapun demikian. Bukan hanya sekali-dua kali saya menulis permintaan maaf serupa dan juga menyalahkan media sosial saat saya jadi jarang menulis di blog.
Sekarang saya baru kepikiran jangan-jangan dengan berjalannya waktu, attention span atau rentang perhatian saya makin rendah karena media sosial ini. Saya jadi begitu sulit untuk membuat tulisan-tulisan panjang karena sudah terbiasa menulis dalam 160 kata saja. Durasi konsentrasi yang cukup panjang untuk menulis di blog tidak lagi saya kuasai. Dalam beberapa menit, saya sudah kehabisan kata-kata yang seharusnya saya tulis. Saya lalu malah kehilangan konsentrasi dan merasa tersiksa saat menulis di blog. Dan inilah yang saya rasakan sekarang.
Apa yang saya lakukan?
Dengan segala kengerian itu, maka saya mulai bertekad untuk mengurangi ketergantungan pada gawai khususnya media sosial. Beberapa aplikasi media sosial mulai saya sembunyikan dari layar utama supaya saya tidak selalu tergoda untuk membukanya. Belum saya hapus secara permanen memang, karena terkadang saat harus melihat situasi dengan cepat, saya harus membuka media sosial itu. Tapi setidaknya, saat saya tidak membutuhkannya, saya tidak membuka dan scrolling tanpa tujuan.
Selain itu saya juga mulai membiasakan untuk tidak membawa gawai ke kamar tidur. Saat saya masuk kamar tidur, gawai saya tinggal di luar. Sekarang yang saya bawa adalah buku sehingga setiap kali tangan saya gatal untuk scrolling layar gawai, saya dipaksa untuk membaca buku. Ini lumayan menarik sih hasilnya. Setidaknya dalam beberapa minggu ini saya jadi lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca daripada menggulir layar gawai.
Hal lain yang saya lakukan adalah mulai aktif menulis pada buku catatan. Untuk membuat kegiatan ini lebih menarik, saya membeli beberapa fountain pen baru. (Iya, silakan hakimi saya bahwa ini hanya pembenaran saja untuk beli-beli fountain pen baru!). Saya memang sudah lama tergila-gila pada fountain pen tapi karena setelah adanya gawai dan laptop saya jarang menulis dengan tangan maka fountain pen saya terabaikan. Nah, mumpung saya sedang mencoba mengurangi pemakaian benda-benda digital maka saya kembali membersihkan dan memakainya. Jadi sekarang secara bergantian saya memakai Lamy, Sheaffer, Faber-Castell, dan Kaweco untuk menulis. Semua saya isi dengan tinta-tinta aneka warna sehingga kegiatan menulis menjadi lebih menyenangkan.
Terakhir, setidaknya untuk saat ini, dari sisi gawai saya mencoba mengatur penggunaan maksimal hariannya. Saya mengatur screen time menjadi 1,5 jam saja sehari. Pada tiap akhir minggu saya bisa melihat berapa banyak waktu yang saya gunakan untuk melihat isi gawai. Juga saya bisa melihat berapa banyak waktu yang saya langgar. Semoga saja ini membuat saya termotivasi untuk tidak lagi terlalu sering membuka-buka gawai terutama untuk hal-hal yang tidak jelas tujuannya.
Catatan:
Saya tidak sedang mengajak untuk memusuhi dan anti gawai. Gawai dalam fungsi sejatinya adalah alat yang membantu memudahkan hidup dan pekerjaan kita. Yang sedang saya musuhi saat ini adalah ketergantungan pada hal-hal di gawai yang keluar dari fungsi sejatinya.
Tentu saja saya masih memakai gawai sebagai alat komunikasi. Saya masih berbalas surat elektronik menyangkut pekerjaan dan bukan memakai surat tulisan tangan lewat pos. Saya juga masih menonton video di YouTube dan streaming service lainnya. Bahkan saya masih menulis di blog yang digital ini.
Tapi yang membedakan adalah bahwa saya melakukannya dengan kesadaran penuh dan menentukan tujuan sebelum memakai gawai. Bukan asal buka dan lalu “sibuk” scrolling tanpa tujuan.